Sabtu, 26 Maret 2011


PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
NOMOR  01 TAHUN 2011
TENTANG
PAJAK DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota.  Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Untuk penyelenggaraan pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat.      
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada raktyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah harus didasarkan pada undang-undang.
Selama ini pungutan daerah yang berupa pajak diatur dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.  Sesuai dengan undang-undang tersebut, Daerah diberi kewenanagan untuk memungut 4 (empat) jenis pajak provinsi dan selain itu, kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan jenis pajak lain sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang.  Undang-undang tersebut juga mengatur tarif pajak maksimum untuk keempat jenis pajak tersebut.  Selanjutnya, Peraturan Pemerintah menetapkan lebih rinci ketentuan mengenai objek, subjek, dan dasar pengenaan dari 4 (empat) jenis pajak tersebut menetapkan tarif pajak yang seragam terhadap seluruh jenis pajak provinsi.
Hasil penerimaan pajak diakui belum memadai dan memiliki peranan yang relative kecil terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) khususnya bagi Provinsi. Sebagian besar pengeluaran APBD dibiayai dana alokasi dari pusat.  Dalam banyak hal, dana alokasi dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan menutup seluruh kebutuhan pengeluaran daerah. Oleh karena itu, pemberian peluang untuk mengenakan peluang baru yang semula diharapkan dapat dapat meningkatkan penerimaan daerah, dalam kenyataan tidak banyak diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan pengeluaran tersebut.  Dengan kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang hampir tidak ada jenis pungutan pajak baru yang dapat dipungut oleh Daerah. Oleh karena itu, hampir semua pungutan baru yang ditetapkan oleh daerah memberikan dampak yang kurang baik terhadap iklim investasi.  Banyak pungutan daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena tumpang tindih dengan pungutan pusat dan merintangi arus barang dan jasa antar daerah.        
Untuk daerah provinsi, jenis pajak yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut telah memberikan sumbangan yang besar terhadap APBD. Namun, karena tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif pajak, provinsi tidak dapat menyesuaikan penerimaan pajaknya.  Dengan demikian, ketergantungan provinsi terhadap dana alokasi dari pusat masih tetap tinggi.
Pada dasarnya kecenderungan daerah untuk menciptakan berbagai pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan bertentangan dengan kepentigan umum dapat diatasi oleh Pemerintah dengan melakukan pengawasan terhadap setiap Peraturan Daerah yang mengatur pajak tersebut.  Undang-undang memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk membatalkan setiap Peraturan Daerah yang bertentangan dengan undang-undang dan kepentingan umum.  Peraturan Daerah yang mengatur pajak daerah dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak ditetapkan harus disampaikan kepada Pemerinta.  Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja Pemerintah dapat membatalkan Perda yang mengatur pajak daerah tersebut, sesuai Pasal 157 ayat (7) dan Pasal 158 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
Dalam kenyataannya, pengawasan terhadap Peraturan Daerah tersebut tidak dapat berjalan secara efektif.  Banyak daerah yang tidak menyampaikan Peraturan Daerah kepada Pemerintah dan beberapa daerah masih tetap memberlakukan Peraturan Daerah kepada Pemerintah dan beberapa daerah masih tetap memberlakukan Peraturan Daerah yang telah dibatalkan oleh Pemerintah.  Tidak efektifnya pengawasan tersebut karena undang-undang yang ada tidak mengatur sanksi terhadap Daerah yang melanggar ketentuan tersebut dan sistem pengawasan yang bersifat reprensif.  Peraturan daerah dapat langsung dilaksanakan oleh Daerah tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah.
Pengaturan kewenangan perpajakan yang ada saat ini kurang mendukung pelaksanaan otonomi Daerah. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberiaan kewenangan yang besar pula dalam perpajakan.  Basis pajak Provinsi yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif pajaknya mengakibatkan daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya.  Ketergantungan daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas daerah.  Pemerintah daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efesien dan masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran daerah karena merasa tidak dibebani dengan pajak.
Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah daerah seharusnya diberi kewenanagan yang lebih besar dalam perpajakan. Berkaitan dengan dengan pemberiaan kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak daerah dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif.
  Perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsif pajak yang baik.  Pajak tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah  dan kegiatan ekspor-impor. Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan basis pajak dan menambah jenis pajak baru. Perluasan basis pajak yang sudak ada dilakukan untuk Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga mencakup kendaraan Pemerintah.  Ada 4 (empat) jenis pajak baru bagi daerah, Pajak Rokok yang merupakan pajak baru bagi provinsi.
Selain perluasan pajak, dalam Peraturan Daerah ini juga dilakukan perluasan terhadap beberapa objek pajak.

Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah beban bagi masyarakat secara berlebihan, daerah hanya diberi kewenangan untuk menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini, selain itu untuk menghindari perang tarif pajak antar daerah untuk objek pajak yang mudah bergerak, seperti kendaraan bermotor, dalam Peraturan Daerah  ini ditetapkan juga tarif minimum untuk Pajak Kendaraan Bermotor.
Pengaturan tarif demikian diperkirakan juga masih memberikan peluang bagi masyarakat untuk memindahkan kendaraannnya ke daerah lain yang beban pajaknya lebih rendah.  Oleh karena itu, dalam undang-undang ini Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagai dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor masih ditetapkan seragam secara nasional.  Namun, sejalan dengan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang lebih baik sesuai dengan beban pajak yang ditanggungnya dan pertimbangan tertentu,  Menteri Dalam Negeri dapat menyerahkan kewenanagan penetapan Nilai Jual Kendaraan Bermotor kepada Daerah.  Selain itu, kebijakan tarif Pajak Kendaraan Bermotor juga diarahkan untuk mengurangi tingkat kemacetan didaerah perkotaan dengan memberikan kewenangan Daerah untuk menerapkan tarif pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya.  Khusus untuk Pajak Rokok, dasar pengenaannya adalah cukai rokok. Tarif Pajak Rokok ditetapkan secara definitif di dalam Peraturan Daerah  ini, agar Pemerintah dapat menjaga keseimbangan antara beban cukai yang harus dipikul oleh industri rokok dengan kebutuhan fiskal nasional dan daerah melalui penetapan tarif cukai nasional.
Untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan, dalam Peraturan Daerah ini sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan dengan pajak tersebut, Pajak Kendaraan Bermotor sebagian dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan modal dan sarana transportasi umum, dan Pajak Rokok sebagian dialokasikan untuk membiayai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.
Dengan perluasan basis pajak yang disertai dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif tersebut, jenis pajak yang dapat dipungut oleh Daerah hanya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Selanjutnya untuk meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan Daerah, mekanisme pengawasan diubah dari represif menjadi prefentif, setiap Peraturan Daerah tentang pajak sebelum dilaksanakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah.  Selain itu, terhadap Daerah yang menetapkan kebijakan di bidang pajak daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil atau restitusi.
Dengan diberlakukannya Peraturan Daerah ini, kemampuan Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya semakin besar karena Daerah dapat dengan mudah menyesuaikan pendapatannya sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak daerah dan diskresi dalam penetapan tarif.  Di pihak lain, dengan tidak memberikan kewenangan kepada Daerah untuk menetapkan jenis pajak baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.




Pasal 1                            
Cukup jelas.
Pasal 2                            
              Cukup jelas.
Pasal 3                            
              Cukup jelas.
Pasal 4
        Ayat (1)                    
              Cukup jelas.
        Ayat (2)                    
              Cukup jelas.
        Ayat (3)  
              Terhadap objek pajak yang tidak dilaporkan kepada Gubernur, maka petugas pajak daerah berkewajiban melaksanakan pendataan sesuai Pasal 71 Ayat (1) huruf d Undang-Undang  Nomor 22 Tahun 2009.
              Huruf a
                      Cukup jelas.
              Huruf b
                      Cukup jelas.
              Huruf c
                Cukup jelas.
              Huruf d               
                      Berdasarkan Perhitungan jumlah potensi objek pajak kendaraan bermotor di air di Kalimantan Timur  yang populasinya hanya digunakan nelayan kecil  dan hasil pemungutan tidak sebanding dengan biaya operasional yang dibutuhkan sehingga pajak kendaraan bermotor diatas air dikecualikan sesuai Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
Pasal 5
        Ayat (1)                    
              Cukup jelas.
        Ayat (2)                    
              Cukup jelas.
        Ayat (3)  
              Dalam hal wajib pajak perorangan atau Badan menerima penyerahan kendaraan bermotor yang jumlah pajak baik sebagian maupun seluruhnya belum dilunasi, maka pihak yang menerima penyerahan bertanggung jawab secara tanggung renteng atas pelunasan pajak tersebut.



Pasal 6
        Ayat (1)
              Huruf a
                      Cukup jelas.
              Huruf b               
-     Bobot koefisien sama dengan 1 berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan kendaraan bermotor tersebut masih dalam batas toleransi.
Ayat (2)
      Cukup jelas.
Ayat (3)
      Cukup jelas.
Ayat (4)
      Cukup jelas.
Ayat (5)
      Cukup jelas.
Ayat (6)
      Cukup jelas.
Ayat (7)
      Cukup jelas.
Ayat (8)
      Cukup jelas.
Ayat (9)
      Cukup jelas.
Ayat (10)
      Cukup jelas.
Pasal 7
        Huruf a
              Cukup jelas.
        Huruf b  
              Kendaraan Bermotor Umum sekurang kurangnya memiliki Izin Usaha Angkutan dan/atau Izin Trayek .
        Huruf c    
              Kendaraan Pemerintah/TNI/POLRI dan Pemerintah Daerah adalah kendaraan yang dipergunakan bukan untuk perang, atau pengamanan masyarakat termasuk kendaraan Pemadam Kebakaran.
        Huruf d  
              -     Termasuk pengertian Kendaraan alat-alat berat yang tidak berjalan dijalan umum adalah kendaraan Bermotor yang digunakan disemua jenis jalan darat dikawasan Bandara Pelabuhan Laut, Perkebunan, Kehutanan, Pertanian, Pertambangan, Industri, Konstruksi, Perdagangan, sarana olah raga dan rekreasi yang tidak serta merta berjalan di jalan umum.

Pasal 8
        Ayat (1)  
              Setiap orang pribadi yang memiliki dan menguasai kendaraan bermotor  lebih dari satu dikenakan pajak progresif.
        Ayat (2)  
              Cukup jelas.
        Ayat (3)  
              Nama dan alamat yang sama kepemilikan kendaraan bermotor dalam satu keluarga yang dibuktikan dalam satu susunan kartu keluarga (KK) yang diterbitkan oleh instansi berwenang.
              Penetapan Pajak Progresif :
-     Untuk pertama kali menetapkan urutan kepemilikan kendaraan bermotor, didasarkan pada urutan tanggal kwitansi atau tanggal faktur yang direkam pada database objek kendaraan bermotor dan/atau pernyataan Wajib Pajak.
        Ayat (4)  
              Cukup jelas.

Pasal 9
        Cukup jelas.
Pasal 10
        Cukup jelas.
Pasal 11
        Ayat (1)
              Cukup jelas.
        Ayat (2)  
              Yang dimaksud dengan ”keadaan kahar (force majeure)” adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak atau kekuasaan Wajib Pajak, misalnya Kendaraan Bermotor tidak dapat digunakan lagi karena bencana alam.
        Ayat (3)
              Cukup jelas.
        Ayat (4)
              Cukup jelas.
Pasal 12        
        Cukup jelas.
Pasal 13        
        Cukup jelas.
Pasal 14        
        Cukup jelas.
Pasal 15        
        Cukup jelas.
Pasal 16        
        Cukup jelas.
Pasal 17        
        Cukup jelas.
Pasal 18        
        Cukup jelas.
Pasal 19        
        Cukup jelas.
Pasal 20        
        Cukup jelas.
Pasal 21        
        Cukup jelas.
Pasal 22        
        Cukup jelas.
Pasal 23        
        Cukup jelas.
Pasal 24
        Ayat (1)
              Cukup jelas.
        Ayat (2)
              Cukup jelas.
        Ayat (3)
              Huruf a
              Huruf b
              Huruf c
              Huruf d
              Huruf e               
                      Berdasarkan Perhitungan jumlah potensi objek pajak kendaraan bermotor di air di Kalimantan Timur  yang populasinya hanya digunakan nelayan kecil  dan hasil pemungutan tidak sebanding dengan biaya operasional yang dibutuhkan sehingga pajak kendaraan bermotor diatas air dikecualikan sesuai Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
Pasal 25 
        Cukup jelas.
Pasal 26 
        Cukup jelas.



Pasal 27
        Ayat (1),(2) dan(3)       
-     Kendaraan Bermotor Umum sekurang kurangnya memiliki Izin Usaha Angkutan dan/atau Izin Trayek.
Pasal 28 
        Cukup jelas.
Pasal 29 
        Cukup jelas.
Pasal 30 
        Cukup jelas.
Pasal 31 
        Cukup jelas.
Pasal 32 
        Cukup jelas.
Pasal 33
        Cukup jelas.
Pasal 34
        Cukup jelas.
Pasal 35 
        Cukup jelas.
Pasal 36 
        Cukup jelas.
Pasal 37 
        Cukup jelas.
Pasal 38 
        Cukup jelas.
Pasal 39 
        Cukup jelas.
Pasal 40 
        Cukup jelas.
Pasal 41        
        Dikecualikan dari obyek PBBKB adalah kendaraan diatas air/kapal yang berbendera asing dengan harga valuta asing untuk tujuan pelayaran dalam dan luar negeri.

Pasal 42
        Ayat (1)
              Cukup jelas.
        Ayat (2)  
              Termasuk dalam pengertian bahan bakar cair antara lain pertamax, premium, bensin biru, Super TT, biosolar, solar dan sejenisnya
        Ayat (3)  
              -     Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan oleh produsen  dan/atau importir atau nama lain sejenis atas bahan bakar yang disalurkan atau dijual kepada:
-     Dalam hal bahan bakar tersebut digunakan sendiri maka produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis  wajib menanggung Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang  digunakan sendiri untuk kendaraan bermotornya.
-     Produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis tidak  mengenakan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor atas penjualan bahan bakar minyak untuk usaha industri.
-     Dalam hal pembelian Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan antar penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual kembali kepada lembaga penyalur dan/atau konsumen langsung, maka yang wajib mengenakan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah penyedia  yang menyalurkan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor  kepada lembaga penyalur dan/atau  konsumen langsung.
        Ayat (4)
              Cukup jelas.
Pasal 43        
1.   Nilai Jual adalah harga jual sebelum dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PBBKB.
Pasal 44
        Ayat (1)
              Cukup jelas.
        Ayat (2)
              Pemberlakuan tariff PBBKB khusus untuk kendaraan umum dapat dilaksanakan sepanjang Pemerintah Kabupaten/Kota telah dapat menyediakan sarana dan prasarana pendukung seperti : SPBU/SPBA dan sebagainya.
        Ayat (3)  
              Penetapan Tarif dan Mekanisme penentuan bahan bakar kendaraan bermotor oleh Pemerintah dilakukan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun, mengingat bahan bakar kendaraan bermotor merupakan barang strategis yang menyangkut hajad hidup orang banyak
Pasal 45 
        Cukup jelas.
Pasal 46 
        Cukup jelas.
Pasal 47 
        Cukup jelas.
Pasal 48 
        Cukup jelas.
Pasal 49 
        Cukup jelas.
Pasal 50 
        Cukup jelas.
Pasal 51 
        Cukup jelas.
Pasal 52 
        Cukup jelas.
Pasal 53 
        Cukup jelas.
Pasal 54 
        Cukup jelas.
Pasal 55 
        Cukup jelas.
Pasal 56 
        Cukup jelas.
Pasal 57 
        Cukup jelas.
Pasal 58 
        Cukup jelas.
Pasal 59 
        Cukup jelas.
Pasal 60 
        Cukup jelas.
Pasal 61 
        Cukup jelas.
Pasal 62
        Cukup jelas.
Pasal 63 
        Cukup jelas.
Pasal 64 
        Cukup jelas.

Pasal 65 
        Cukup jelas.
Pasal 66 
        Cukup jelas.
Pasal 67
        Cukup jelas.
Pasal 68 
        Cukup jelas.
Pasal 69 
        Cukup jelas.
Pasal 70
        Cukup jelas.
Pasal 71 
        Cukup jelas.
Pasal 72 
        Cukup jelas.
Pasal 73 
        Cukup jelas.
Pasal 74 
        Cukup jelas.
Pasal 75 
        Cukup jelas.
Pasal 76
        Ayat (1)
              Cukup jelas.
        Ayat (2)  
-     Termasuk dalam pengertian sigaret adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting, untuk dipakai tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu.

        Ayat (3)
              Cukup jelas.
Pasal 77
        Cukup jelas.
Pasal 78
        Cukup jelas.
Pasal 79
        Cukup jelas.
Pasal 80
        Cukup jelas.
Pasal 81        
        Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 82
        Cukup jelas.
Pasal 83
        Cukup jelas.
Pasal 84
        Cukup jelas.
Pasal 85
        Cukup jelas.
Pasal 86
        Cukup jelas.
Pasal 87
        Cukup jelas.
Pasal 88
        Cukup jelas.
Pasal 89
        Cukup jelas.
Pasal 90
        Cukup jelas.
Pasal 91
        Cukup jelas.
Pasal 92
        Ayat (1)
-     Yang dimaksud dengan “instansi yang melaksanakan pemungutan” adalah Dinas/Badan/Lembaga yang tugas pokok dan fungsinya melaksanakan pemungutan pajak.
-     Yang dimaksud dengan “kinerja tertentu” salah satunya adalah realisasi pencapaian target pendapatan.
        Ayat (2)  
              Cukup jelas.
        Ayat (3)  
              Cukup jelas.
Pasal 93
        Cukup jelas.
Pasal 94
        Cukup jelas.
Pasal 95
        Cukup jelas.
Pasal 96
        Cukup jelas.
Pasal 97
        Cukup jelas.
Pasal 98
        Cukup jelas.
Pasal 99
        Cukup jelas.
Pasal 100
        Cukup jelas.
Pasal 101
        Cukup jelas.
Pasal 102
        Cukup jelas.
Pasal 103
        Cukup jelas.
Pasal 104
        Cukup jelas.
Pasal 105
        Cukup jelas.
Pasal 106
        Cukup jelas.
Pasal 107
        Cukup jelas.
Pasal 108
        Cukup jelas.
Pasal 109
        Cukup jelas.
Pasal 110
        Cukup jelas.
Pasal 111
        Cukup jelas.
Pasal 112
        Cukup jelas.
Pasal 113
        Cukup jelas.
Pasal 114
        Cukup jelas.
Pasal 115
        Cukup jelas.
Pasal 116
        Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR