PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
NOMOR 01 TAHUN 2011
TENTANG
PAJAK DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota . Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Untuk penyelenggaraan pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada raktyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah harus didasarkan pada undang-undang.
Selama ini pungutan daerah yang berupa pajak diatur dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Sesuai dengan undang-undang tersebut, Daerah diberi kewenanagan untuk memungut 4 (empat) jenis pajak provinsi dan selain itu, kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan jenis pajak lain sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang. Undang-undang tersebut juga mengatur tarif pajak maksimum untuk keempat jenis pajak tersebut. Selanjutnya, Peraturan Pemerintah menetapkan lebih rinci ketentuan mengenai objek, subjek, dan dasar pengenaan dari 4 (empat) jenis pajak tersebut menetapkan tarif pajak yang seragam terhadap seluruh jenis pajak provinsi.
Hasil penerimaan pajak diakui belum memadai dan memiliki peranan yang relative kecil terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) khususnya bagi Provinsi. Sebagian besar pengeluaran APBD dibiayai dana alokasi dari pusat. Dalam banyak hal, dana alokasi dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan menutup seluruh kebutuhan pengeluaran daerah. Oleh karena itu, pemberian peluang untuk mengenakan peluang baru yang semula diharapkan dapat dapat meningkatkan penerimaan daerah, dalam kenyataan tidak banyak diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan pengeluaran tersebut. Dengan kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang hampir tidak ada jenis pungutan pajak baru yang dapat dipungut oleh Daerah. Oleh karena itu, hampir semua pungutan baru yang ditetapkan oleh daerah memberikan dampak yang kurang baik terhadap iklim investasi. Banyak pungutan daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena tumpang tindih dengan pungutan pusat dan merintangi arus barang dan jasa antar daerah.
Untuk daerah provinsi, jenis pajak yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut telah memberikan sumbangan yang besar terhadap APBD. Namun, karena tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif pajak, provinsi tidak dapat menyesuaikan penerimaan pajaknya. Dengan demikian, ketergantungan provinsi terhadap dana alokasi dari pusat masih tetap tinggi.
Pada dasarnya kecenderungan daerah untuk menciptakan berbagai pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan bertentangan dengan kepentigan umum dapat diatasi oleh Pemerintah dengan melakukan pengawasan terhadap setiap Peraturan Daerah yang mengatur pajak tersebut. Undang-undang memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk membatalkan setiap Peraturan Daerah yang bertentangan dengan undang-undang dan kepentingan umum. Peraturan Daerah yang mengatur pajak daerah dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak ditetapkan harus disampaikan kepada Pemerinta. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja Pemerintah dapat membatalkan Perda yang mengatur pajak daerah tersebut, sesuai Pasal 157 ayat (7) dan Pasal 158 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
Dalam kenyataannya, pengawasan terhadap Peraturan Daerah tersebut tidak dapat berjalan secara efektif. Banyak daerah yang tidak menyampaikan Peraturan Daerah kepada Pemerintah dan beberapa daerah masih tetap memberlakukan Peraturan Daerah kepada Pemerintah dan beberapa daerah masih tetap memberlakukan Peraturan Daerah yang telah dibatalkan oleh Pemerintah. Tidak efektifnya pengawasan tersebut karena undang-undang yang ada tidak mengatur sanksi terhadap Daerah yang melanggar ketentuan tersebut dan sistem pengawasan yang bersifat reprensif. Peraturan daerah dapat langsung dilaksanakan oleh Daerah tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah.
Pengaturan kewenangan perpajakan yang ada saat ini kurang mendukung pelaksanaan otonomi Daerah. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberiaan kewenangan yang besar pula dalam perpajakan. Basis pajak Provinsi yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif pajaknya mengakibatkan daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya. Ketergantungan daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas daerah. Pemerintah daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efesien dan masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran daerah karena merasa tidak dibebani dengan pajak.
Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah daerah seharusnya diberi kewenanagan yang lebih besar dalam perpajakan. Berkaitan dengan dengan pemberiaan kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak daerah dan memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif.
Perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsif pajak yang baik. Pajak tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor-impor. Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan basis pajak dan menambah jenis pajak baru. Perluasan basis pajak yang sudak ada dilakukan untuk Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga mencakup kendaraan Pemerintah. Ada 4 (empat) jenis pajak baru bagi daerah, Pajak Rokok yang merupakan pajak baru bagi provinsi.
Selain perluasan pajak, dalam Peraturan Daerah ini juga dilakukan perluasan terhadap beberapa objek pajak.
Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah beban bagi masyarakat secara berlebihan, daerah hanya diberi kewenangan untuk menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini, selain itu untuk menghindari perang tarif pajak antar daerah untuk objek pajak yang mudah bergerak, seperti kendaraan bermotor, dalam Peraturan Daerah ini ditetapkan juga tarif minimum untuk Pajak Kendaraan Bermotor.
Pengaturan tarif demikian diperkirakan juga masih memberikan peluang bagi masyarakat untuk memindahkan kendaraannnya ke daerah lain yang beban pajaknya lebih rendah. Oleh karena itu, dalam undang-undang ini Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagai dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor masih ditetapkan seragam secara nasional. Namun, sejalan dengan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang lebih baik sesuai dengan beban pajak yang ditanggungnya dan pertimbangan tertentu, Menteri Dalam Negeri dapat menyerahkan kewenanagan penetapan Nilai Jual Kendaraan Bermotor kepada Daerah. Selain itu, kebijakan tarif Pajak Kendaraan Bermotor juga diarahkan untuk mengurangi tingkat kemacetan didaerah perkotaan dengan memberikan kewenangan Daerah untuk menerapkan tarif pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya. Khusus untuk Pajak Rokok, dasar pengenaannya adalah cukai rokok. Tarif Pajak Rokok ditetapkan secara definitif di dalam Peraturan Daerah ini, agar Pemerintah dapat menjaga keseimbangan antara beban cukai yang harus dipikul oleh industri rokok dengan kebutuhan fiskal nasional dan daerah melalui penetapan tarif cukai nasional.
Untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan, dalam Peraturan Daerah ini sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan dengan pajak tersebut, Pajak Kendaraan Bermotor sebagian dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan modal dan sarana transportasi umum, dan Pajak Rokok sebagian dialokasikan untuk membiayai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.
Dengan perluasan basis pajak yang disertai dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif tersebut, jenis pajak yang dapat dipungut oleh Daerah hanya yang ditetapkan dalam undang-undang.
Selanjutnya untuk meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan Daerah, mekanisme pengawasan diubah dari represif menjadi prefentif, setiap Peraturan Daerah tentang pajak sebelum dilaksanakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain itu, terhadap Daerah yang menetapkan kebijakan di bidang pajak daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil atau restitusi.
Dengan diberlakukannya Peraturan Daerah ini, kemampuan Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya semakin besar karena Daerah dapat dengan mudah menyesuaikan pendapatannya sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak daerah dan diskresi dalam penetapan tarif. Di pihak lain, dengan tidak memberikan kewenangan kepada Daerah untuk menetapkan jenis pajak baru akan memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Terhadap objek pajak yang tidak dilaporkan kepada Gubernur, maka petugas pajak daerah berkewajiban melaksanakan pendataan sesuai Pasal 71 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Berdasarkan Perhitungan jumlah potensi objek pajak kendaraan bermotor di air di Kalimantan Timur yang populasinya hanya digunakan nelayan kecil dan hasil pemungutan tidak sebanding dengan biaya operasional yang dibutuhkan sehingga pajak kendaraan bermotor diatas air dikecualikan sesuai Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal wajib pajak perorangan atau Badan menerima penyerahan kendaraan bermotor yang jumlah pajak baik sebagian maupun seluruhnya belum dilunasi, maka pihak yang menerima penyerahan bertanggung jawab secara tanggung renteng atas pelunasan pajak tersebut.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
- Bobot koefisien sama dengan 1 berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan kendaraan bermotor tersebut masih dalam batas toleransi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kendaraan Bermotor Umum sekurang kurangnya memiliki Izin Usaha Angkutan dan/atau Izin Trayek .
Huruf c
Kendaraan Pemerintah/TNI/POLRI dan Pemerintah Daerah adalah kendaraan yang dipergunakan bukan untuk perang, atau pengamanan masyarakat termasuk kendaraan Pemadam Kebakaran.
Huruf d
- Termasuk pengertian Kendaraan alat-alat berat yang tidak berjalan dijalan umum adalah kendaraan Bermotor yang digunakan disemua jenis jalan darat dikawasan Bandara Pelabuhan Laut, Perkebunan, Kehutanan, Pertanian, Pertambangan, Industri, Konstruksi, Perdagangan, sarana olah raga dan rekreasi yang tidak serta merta berjalan di jalan umum.
Pasal 8
Ayat (1)
Setiap orang pribadi yang memiliki dan menguasai kendaraan bermotor lebih dari satu dikenakan pajak progresif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Nama dan alamat yang sama kepemilikan kendaraan bermotor dalam satu keluarga yang dibuktikan dalam satu susunan kartu keluarga (KK) yang diterbitkan oleh instansi berwenang.
Penetapan Pajak Progresif :
- Untuk pertama kali menetapkan urutan kepemilikan kendaraan bermotor, didasarkan pada urutan tanggal kwitansi atau tanggal faktur yang direkam pada database objek kendaraan bermotor dan/atau pernyataan Wajib Pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”keadaan kahar (force majeure)” adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak atau kekuasaan Wajib Pajak, misalnya Kendaraan Bermotor tidak dapat digunakan lagi karena bencana alam.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Huruf b
Huruf c
Huruf d
Huruf e
Berdasarkan Perhitungan jumlah potensi objek pajak kendaraan bermotor di air di Kalimantan Timur yang populasinya hanya digunakan nelayan kecil dan hasil pemungutan tidak sebanding dengan biaya operasional yang dibutuhkan sehingga pajak kendaraan bermotor diatas air dikecualikan sesuai Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1),(2) dan(3)
- Kendaraan Bermotor Umum sekurang kurangnya memiliki Izin Usaha Angkutan dan/atau Izin Trayek.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Dikecualikan dari obyek PBBKB adalah kendaraan diatas air/kapal yang berbendera asing dengan harga valuta asing untuk tujuan pelayaran dalam dan luar negeri.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian bahan bakar cair antara lain pertamax, premium, bensin biru, Super TT, biosolar, solar dan sejenisnya
Ayat (3)
- Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan oleh produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis atas bahan bakar yang disalurkan atau dijual kepada:
- Dalam hal bahan bakar tersebut digunakan sendiri maka produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis wajib menanggung Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang digunakan sendiri untuk kendaraan bermotornya.
- Produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis tidak mengenakan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor atas penjualan bahan bakar minyak untuk usaha industri.
- Dalam hal pembelian Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan antar penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual kembali kepada lembaga penyalur dan/atau konsumen langsung, maka yang wajib mengenakan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah penyedia yang menyalurkan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor kepada lembaga penyalur dan/atau konsumen langsung.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 43
1. Nilai Jual adalah harga jual sebelum dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PBBKB.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberlakuan tariff PBBKB khusus untuk kendaraan umum dapat dilaksanakan sepanjang Pemerintah Kabupaten/Kota telah dapat menyediakan sarana dan prasarana pendukung seperti : SPBU/SPBA dan sebagainya.
Ayat (3)
Penetapan Tarif dan Mekanisme penentuan bahan bakar kendaraan bermotor oleh Pemerintah dilakukan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun, mengingat bahan bakar kendaraan bermotor merupakan barang strategis yang menyangkut hajad hidup orang banyak
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
- Termasuk dalam pengertian sigaret adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting, untuk dipakai tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Ayat (1)
- Yang dimaksud dengan “instansi yang melaksanakan pemungutan” adalah Dinas/Badan/Lembaga yang tugas pokok dan fungsinya melaksanakan pemungutan pajak.
- Yang dimaksud dengan “kinerja tertentu” salah satunya adalah realisasi pencapaian target pendapatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR